Menghalalkan Money Politic: Memperjuangkan Hak atau Bertentangan dengan Aturan?
Politik Uang, yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai "Money Politic," merupakan istilah yang mengacu pada praktik politik yang melibatkan pemberian atau janji suap kepada seseorang dengan tujuan mempengaruhi hak pilihnya atau cara dia menggunakan hak pilihnya pada saat pemilihan umum. Praktik ini biasanya dilakukan oleh simpatisan, kader, atau pengurus partai politik menjelang hari pemilihan umum dengan cara memberikan uang atau bantuan sembako seperti beras, minyak, atau gula kepada masyarakat, guna menarik simpati mereka agar memberikan suara untuk partai yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang nomor 3 Tahun 1999 tentang pemilihan presiden, politik uang dianggap sebagai bentuk pelanggaran kampanye. Meskipun istilah "Money Politic" mungkin terbilang baru, dalam beberapa kajian bahtsul masail, praktik semacam ini termasuk dalam kategori risywah atau suap, sehingga hukumnya adalah haram atau tidak diperbolehkan.
Sayangnya, masih ada sebagian orang yang belum sepenuhnya memahami bahwa politik uang termasuk dalam kategori risywah, karena mereka mungkin menganggap risywah hanya berlaku dalam konteks putusan peradilan atau hukum saja. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Imam Al-Ghazali memberikan penjelasan yang relevan tentang hal ini yang dikutip oleh Zakariya bin Muhammad Zakariya Al-Anshari dalam kitabnya Asnal Mathalib.
فَصْلٌ (قَوْلُهُ تَحْرُمُ الرِّشْوَةُ) قَالَ
الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ
أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ
أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ أَوْ مُبَاحٍ فَإِجَارَةٌ أَوْ جَعَالَةٌ
أَوْ تَوَدُّدٍ مُجَرَّدٍ أَوْ تَوَسُّلٍ بِجَاهِهِ إلَى أَغْرَاضِهِ فَهَدِيَّةٌ
إنْ كَانَ جَاهُهُ بِالْعِلْمِ أَوْ النَّسَبِ، وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ أَوْ
الْعَمَلِ فَرِشْوَةٌ
(Pasal) pernyataan Mushanif: "Suap dilarang" Al-Imam Al-Ghazali dalam Ihya'nya berkata: "Harta jika diberikan untuk maksud mendatang (pahala akhirat) maka disebut sedekah. Jika diberikan untuk tujuan segera (imbalan dunia) berupa harta maka disebut hibah bisyartit tsawab. Jika pemberian harta itu atas hal yang diharamkan atau kewajiban muaya'an maka disebut risywah. Jika untuk hal yang mubah maka disebut dengan ijarah atau ja'alah. Jika pemberian harta karena murni kasih sayang atau untuk berhubungan dengan derajat pangkatnya agar tercapai tujuan-tujuannya, itu disebut hadiah jika kedudukan dan derajatnya itu berupa ilmu atau nasab; namun jika berupa putusan hukum atau satu tindakan maka disebut risywah." (Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Rhaudhit Thalib, [Beirut, Dar Kutub Islami], juz IV halaman 200).
Penjelasan di atas menegaskan bahwa suap tidak hanya dalam konteks putusan hukum saja, tapi lebih luas dari itu. Dengan demikian politik uang termasuk kategori suap yang hukumnya haram. Dalam konteks pemilu secara umum dapat dipahami, yang dianggap suap adalah segala pemberian yang bertujuan agar pemegang keputusan dalam hal ini adalah masyarakat yang memiliki hak pilih memihak kepada pihak pemberi atau bakal calon pemimpin agar mengikuti kemauannya atau mendahulukannya dari pihak lain sehingga prosesnya menjadi tidak sesuai dengan aturan yang dibenarkan (bighairal-haqq).
Terkait motif pemberian bisa beragam, di antaranya adalah untuk mengambil hak, dalam arti si pemberi merasa paling berhak untuk menjadi pemimpin daripada kompetitornya, sehingga pembelian suara diklaim sebagai membeli haknya dan tidak dianggap sebagai suap.
Baca juga : Inilah Hukumnya Menghadiri Resepsi Pernikahan tanpa Diundang
Untuk menjelaskan hal tersebut perlu diketahui bahwa dalam beberapa literatur fiqih klasik disebutkan, suap sama sekali tidak boleh diterima oleh pihak pemegang keputusan atau dalam hal ini pemilih. Namun, adakalanya pihak pemberi diperkenankan memberikannya bila tujuannya adalah memperjuangkan apa yang memang menjadi haknya. sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin:
نعم، إنما يحرم على الراشي إذا تواصل بها إلى
أخذ ما ليس له أو ابطال حق عليه أما لو حيل بينه وبين حقه وعلم أنه لا يصل إليه
إلا ببذله لقاض سوء فلورز خاص بالمرتشي
Artinya,
"Betul, haram bagi penyuap jika risywah atau suap itu untuk mengambil apa
yang bukan menjadi haknya atau membatalkan perkara yang hak. Adapun upaya
(hailah) supaya ia mendapatkan haknya dan ia tahu bahwa ia tidak akan
mendapatkan haknya kecuali menyerahkan harta kepada qadhi yang korup, maka
dosanya khusus untuk penerima suap saja." (Abdurrahman bin Muhammad bin
Husain, Bughyatul Mustarsidin [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1433 H], halaman
269)
Penting untuk memahami bahwa dalam konteks kontestasi pemilihan pemimpin yang terjadi dalam era demokrasi saat ini, syarat kebolehan menyuap ini nyaris tidak mungkin terjadi sebab masing-masing kandidat secara hukum berada di posisi yang sama serta seimbang setelah menurut aturan yang berlaku dinyatakan lolos dan memenuhi syarat untuk mengikuti kontestasi pemilihan calon pemimpin.
Karena itu, tidak boleh ada satupun kandidat calon yang memosisikan dirinya sebagai calon terbaik yang memenuhi syarat atau merasa dirinya paling berhak atas jabatan dibandingkan calon lainnya, sehingga menghalalkan praktik politik uang atau jual beli suara (hak pilih).
Adapun alasan memberikan suap sebab memperjuangkan kebenaran, maksudnya adalah memberikan uang agar pemegang keputusan yang korup mau mengeluarkan putusan yang adil dan objektif sesuai aturan yang berlaku.
Jadi, praktek suap yang justru melanggar aturan yang ada sama sekali tidak bisa diklaim sebagai upaya menegakkan kebenaran, malah bertentangan dengannya. Sebab itu, saat ini secara mutlak diharamkan memberikan suap untuk mengubah hasil perolehan suara yang seharusnya dilakukan secara adil dan objektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.