2 Bacaan yang seharusnya Diajarkan Pertama Kali kepada Anak
Peran orang tua memegang peran yang sangat penting dalam membentuk masa depan anak-anaknya. Melalui contoh, nilai-nilai, serta pendidikan moral yang diberikan, orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap pembentukan sikap, nilai, dan prinsip-prinsip yang akan menjadi dasar perilaku anak-anak di kemudian hari.
Tidak kalah pentingnya adalah peranan orang tua dalam memperkenalkan konsep Allah atau tauhid kepada anak-anak saat mereka masih kecil. Melalui komunikasi, teladan, dan lingkungan yang kaya akan ajaran agama, orang tua dapat membantu anak-anak memahami konsep tauhid pada tingkat dasar.
Dalam Al-Qur’an, terdapat tokoh teladan yang dikenal sebagai Luqman al-Hakim. Meskipun bukan seorang nabi, namun Allah mengabadikan Luqman sebagai contoh teladan bagi umat Muhammad.
Pendidikan dasar yang diwariskan oleh Luqman kepada anaknya, yang menjadikannya sebagai contoh teladan, adalah tentang tauhid. Ini melibatkan keyakinan pada satu-satunya keesaan Allah dan penolakan terhadap konsep sekutu dalam ibadah kepada-Nya.
Allah menceritakan:
وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar,” (QS. Luqman: 13)
Konsep tauhid memiliki dimensi teologis-dogmatis yang mendasar, dan keyakinan terhadap Allah sebagai Tuhan menjadi dasar pembelajaran awal bagi seorang anak. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Ibnu Ruslan dalam nadzam Matan Az-Zubad:
"أول واجب على الإنسان
معرفة الإله باستيقان"
Artinya: "Kewajiban pertama manusia adalah untuk mengenal Tuhan dengan keyakinan yang kuat."
Ibnu Ruslan dalam nadzamnya menjelaskan konsep berikut:
"و النطق بالشهادتين اعتبرا
لصحة الإيمان ممن قدرا
ان صدق القلب"
Artinya: "Mengucapkan dua kalimat syahadah dianggap sebagai aspek validitas iman bagi mereka yang mampu, jika hati mereka sungguh-sungguh meyakini" (Ibnu Ruslan, Matan Az-Zubad, (Makkah, Maktabah Ats-Tsaqafah, 1984), hlm. 9)
Dalam pendidikan yang diberikan oleh orang tua, ada hal pertama yang perlu diajarkan kepada anak-anak, yaitu mengenalkan Allah dengan mengajarkan kepada mereka kedua kalimat syahadat:
"أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ"
Asyhadu an laa ilaaha illalloh, wa asyhadu anna muhammadar rasuululloh.
Artinya: "Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah
Iman yang paling tepat terletak pada keyakinan yang mendalam di dalam hati, diiringi dengan pengakuan lisan yang bersedia mengucapkan kalimat tauhid, serta diwujudkan melalui tindakan yang sejalan dengan keyakinan tersebut. Seseorang yang memiliki tutur kata dan sikap yang tepat, namun hatinya masih belum memancarkan iman, dikenal sebagai seorang munafik. Di sisi lain, individu yang memiliki keyakinan dalam hati, sikap yang baik, namun enggan mengucapkan iman dengan lisan, disebut sebagai orang kafir. Sebaliknya, bila hati telah terpenuhi iman, ucapan telah sesuai, namun tindakan tidak sejalan, maka orang tersebut termasuk dalam kategori fasik. (Referensi: Ahmad ar-Ramli, Fathurrahman, (Beirut: Darul Minhaj, 2009), hlm. 50)
Selain pentingnya pengucapan syahadat, orang tua juga memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang kesediaan mereka menerima Allah sebagai Tuhan, menerima Islam sebagai agama, dan menerima Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Habib Ali bin Abdurrahman al-Masyhur menyatakan bahwa salah satu ajaran yang ditekankan oleh para ulama salaf kepada anak-anak adalah bacaan berikut:
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وِبِالإِسْلَامِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَرَسُوْلًا
Radhiitu billaahi rabbaa, wa bil islaami diina, wa bi Muhammadin shallallohu ‘alaihi wa sallama nabiyyan wa rasuulaa.
Terjemahannya: "Aku rela menerima Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Nabi Muhammad ﷺ sebagai nabi dan rasul." (Referensi: Habib Zein bin Ibrahin bin Sumaith, Al-Manhajus Sawi, (Tarim: Darul Ilmi wad Da’wah, 2005), hlm. 506)
Pernyataan 'radhîtu' ini memiliki signifikansi yang sangat penting, sebab ungkapan ini merujuk pada pengakuan atau tegasnya, pernyataan seseorang terhadap keyakinannya. Individu yang secara tulus mengakui Allah sebagai Pencipta, Islam sebagai ajaran agama, serta Nabi Muhammad sebagai Utusan-Nya, secara esensial memberi pengakuan terhadap keberadaan tiga elemen ini.
Apabila seseorang membenarkan eksistensi ketiga pilar ini, itu akan secara alami mendorong mereka untuk mematuhi norma-norma yang telah ditetapkan, termasuk aturan-aturan mengenai ibadah, ketentuan halal dan haram, hukum hudud, transaksi keuangan (muamalat), ikatan pernikahan (munakahat), dan berbagai aspek lainnya.
Sebagai hasil akhirnya, terdapat dua bacaan yang seharusnya menjadi prioritas dalam pendidikan awal yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka. Pertama adalah pengajaran tentang pengucapan dua kalimat syahadah yang menyatakan keimanan, dan yang kedua adalah pengajaran tentang pengucapan 'radlitu', menandakan penerimaan dan rela menerima.
Baca juga : Sa’id bin Musayyib Seorang Pembawa Hadis Populer pada Masa Tabi’in