Pengertian Kitab Matan, Syarah, Hasyiyah dan Taklik
Dalam tradisi intelektual Islam di Pesantren maupun di Perguruan Tinggi Islam, terdapat banyak kitab yang dikenal dengan nama-nama seperti "Kitab Matan", "Kitab Syarh", dan "Kitab Hasyiah". Bagi orang awam, mungkin sering muncul pertanyaan mengenai perbedaan penyebutan ketiga jenis kitab tersebut dan apa saja isinya sehingga suatu kitab disebut "Kitab Matan", "Kitab Syarh", atau "Kitab Hasyiah".
Daftar Isi :Kitab Matan
Kitab Matan adalah sebuah jenis kitab yang berisi komentar tanpa tambahan penjelasan yang panjang, ditulis secara singkat sebagai suatu ringkasan. Dalam bahasa Arab, bentuk jamaknya adalah (متون) "mutun" dan (متان) "mitan". Secara terminologis, matan adalah redaksi hadits yang berfungsi sebagai unsur pendukung dalam memahaminya.
Para penulis Kitab Matan berfokus pada fakta-fakta penting tanpa menyertakan penjelasan yang terperinci mengenai permasalahan dalam fiqh. Biasanya, para penulis kitab jenis ini menggunakan istilah-istilah yang tepat dan menyeluruh.
Meskipun berguna, kitab-kitab jenis ini dapat sulit dibaca tanpa adanya ulasan atau syarah dari ulama atau fuqaha yang menjelaskan maksud dan makna setiap baris matan yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut.
Perlu diingat bahwa terkadang matan ditulis oleh para fuqaha sebagai ringkasan dari kitab lain yang dikenal sebagai mukhtasar. Contohnya adalah kitab al-Muharrar karya Imam al-Rafi'i yang merupakan ringkasan dari kitab al-Wajiz karya Imam al-Ghazali.
Tak hanya itu, ada juga mukhtasar yang dibuat berdasarkan kitab mukhtasar lainnya, seperti kitab Minhaj al-Talibin karya Imam Nawawi yang merupakan ringkasan dari kitab al-Muharrar. Salah satu bentuk penulisan kitab jenis ini adalah dalam bentuk nazam (syair) agar memudahkan para pembaca atau pelajar dalam menghafal setiap baris matan yang terdapat dalam kitab tersebut.
Karena sifatnya yang singkat dan tanpa penjelasan rinci, kitab matan jarang digunakan sebagai rujukan, kecuali oleh orang-orang yang telah mempelajarinya terlebih dahulu atau digunakan bersama-sama dengan kitab lain. Beberapa contoh kitab Ilmu Fiqh yang ditulis dengan cara penulisan jenis ini adalah Bidayat al-Mubtadi' karya al-Marghinaniyy (ulama mazhab Hanafi), Matn atau Mukhtasar Khalil karya Syaikh Khalil Ibn Ishaq (Ulama mazhab Maliki), Al-Ghayah wa al-taqrib karya Abu Syuja' (ulama mazhab Syafie), dan Mukhtasar al-Khiraqiyy karya Abu Al-Qasim Umar Ibn Al-hasan al-Khirraqiy (ulama mazhab Hanbali).
Kitab Syarah
Syarah adalah komentar penjelasan yang dibuat untuk sebuah kitab atau matan. Kata "syarah" juga bisa dijamakkan menjadi syuruh (الشروح), dan ulama yang mengarang kitab syarah disebut sebagai syarih (الشَّارِح).
Fungsi dari penjelasan ini adalah untuk melakukan beberapa tugas, antara lain:
- Tafshil mujmal: Memerinci penjelasan yang bersifat global pada matan yang lebih umum.
- Tabyin mubham: Menjelaskan hal-hal yang masih belum jelas dalam matan.
- Taqyidul muthlaq: Membatasi dan mempersempit pengertian yang bersifat mutlak dalam matan.
- Tash-hihul khotho’: Mengoreksi kesalahan yang ada dalam matan.
- Fakkul ‘ibaroh: Menyibak makna ungkapan-ungkapan yang mungkin kurang jelas dalam matan.
- Ta’lilat: Memberikan alasan-alasan dan argumen-argumen penjelasan.
- I'tirodhot: Menyajikan sanggahan atau keberatan atas penjelasan yang ada.
- Memperkuat penjelasan matan: Dengan menyajikan dalil-dalil, istinbath, dan wajhul istidlal (pendekatan argumentasi) untuk memperkuat penjelasan yang ada.
- Memperluas bahasan dengan membahas ushul (dasar-dasar) yang digunakan oleh pengarang matan dalam menurunkan hukum-hukum cabang.
- Mengkritik cara penyajian matan: Pengarang syarah kadang-kadang mengkritik cara penyajian yang ditulis oleh pengarang matan.
- Menyajikan contoh-contoh penjelas (amtsilah) dan syawahid.
Mengkaji penjelasan kitab (syarah) merupakan langkah kedua setelah mempelajari matan. Seseorang yang sudah mampu membuat penjelasan dan menyajikan keberatan-keberatan menunjukkan bahwa dia sudah mencapai tingkat ulama. Dia telah mampu membaca dengan kritis, bertanggung jawab, dan berargumentasi. Orang yang membaca penjelasan kitab (syarah) sudah berada di tingkat berpikir seorang ulama yang sedang berdiskusi dengan ulama lain, dan dapat memahami cara pandang ulama lain.
Adapun teknik penulisan penjelasan kitab, para ulama memiliki berbagai pendekatan. Ada yang menulis syarah dengan cara menyatukan langsung dengan matan. Matan ditandai dengan diletakkan dalam tanda kurung. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Qosim Al-Ghozzi dalam kitab "Fathu Al-Qorib" (penjelasan matan Abu Syuja'). Terdapat juga cara lain dengan mengutip terlebih dahulu satu kalimat atau paragraf dalam matan, baru kemudian dijelaskan. Cara ini diterapkan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab "Al-Mughni" (penjelasan matan "Mukhtashor Al-Khiroqi"). Beberapa pengarang juga memilih untuk tidak mengutip matan secara langsung, tetapi hanya memfokuskan pada makna matan. Cara ini dilakukan oleh Al-Mawardi dalam kitab "Al-Hawi Al-Kabir" (penjelasan matan "Mukhtashor Al-Muzani"), dan juga oleh Al-Juwaini dalam kitab "Nihayatu Al-Mathlab" (penjelasan matan "Mukhtashor Al-Muzani").
Dari sisi keluasan penjelasan, syarah bisa memiliki tiga tingkatan, yaitu ringkas (wajiz), pertengahan (mutawassith), dan panjang lebar (muthowwal/mabsuth).
Kitab Hasyiyah
"Hasyiyah" (الحاشية) atau "note" adalah penjelasan dari sebuah "syarah" (الشرح) atau komentar. Dalam kata lain, dapat dikatakan bahwa "hasyiyah" adalah penjelasan untuk penjelasan. Istilah "hasyiyah" juga dapat merujuk pada "syarah" atau penjelasan yang mirip dengan "syarah". Terkadang, istilah yang sinonom atau mendekati "hasyiyah" adalah "ta'liq" atau "ta'liqoh", "qoul 'ala", "kalam 'ala", "nukat/tankit", "thorroh/thuror", dan "taqrir".
Biasanya, "hasyiyah" diletakkan di pinggir kitab, sesuai dengan makna bahasa "hasyiyah" yang berarti "catatan pinggir". Namun, kadang-kadang "hasyiyah" juga dapat ditempatkan di bawah kitab.
Perlu diketahui bahwa ada beberapa interpretasi dan perluasan makna istilah "hasyiyah" oleh para penulis setelahnya. Beberapa di antaranya memperluas makna "hasyiyah" sehingga istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan "syarah". Sehingga, tidak jarang kita menemui kitab yang diberi nama "hasyiyah", namun isinya sama atau mirip dengan "syarah". Terkadang, "hasyiyah" juga berfungsi hanya untuk menguraikan ayat, hadis, dan penjelasan kata-kata sulit.
Dalam zaman sekarang, "hasyiyah" kadang-kadang diartikan sebagai "footnote". Namun, istilah yang lebih umum untuk "footnote" adalah "hamisy" (الهامش) atau "hawamisy" (الهوامش), bukan "hasyiyah".
"Hasyiyah" selalu muncul setelah "syarah" dan tidak mungkin ada "hasyiyah" yang ditulis sebelum "syarah", karena esensinya "hasyiyah" adalah penjelasan untuk sebuah "syarah".
Ciri khas "hasyiyah" adalah tidak mengomentari semua bagian dari kitab yang dijelaskan. Penulis "hasyiyah" hanya akan mengomentari hal-hal yang dianggap perlu saja. Hal ini merupakan perbedaan penting dengan "syarah", yang menyajikan seluruh "matan" dan kemudian dijelaskan. Sebagai akibatnya, "syarah" selalu memperhatikan "munasabah" (kesesuaian konteks) antara satu bagian dengan bagian lainnya, sedangkan "hasyiyah" tidak. Oleh karena itu, seringkali antara penjelasan satu hal dengan hal lainnya dalam "hasyiyah" bisa terputus sama sekali. Dengan demikian, umumnya "hasyiyah" lebih tipis atau lebih kecil daripada "syarah" jika keduanya mengomentari kitab yang sama.
"Hasyiyah" tidak selalu berfungsi sebagai komentar untuk "syarah". Ia juga bisa menjadi komentar untuk "matan" atau isi kitab. Namun, tetap berlaku ciri khas "hasyiyah" yang hanya mengomentari hal-hal yang dianggap penting dan tidak seluruh isi kitab.
Biasanya, "Hasyiyah" ditulis oleh para ulama untuk kepentingan pribadi atau sebagai koleksi pribadi untuk memudahkan mempelajari atau mengajarkan kitab. Awalnya, "hasyiyah" muncul ketika seorang ulama mempelajari, mengajar, atau memuroja'ah (mengulas kembali) sebuah kitab, kemudian lintasan-lintasan ilmu, ilmu-ilmu unik, ilmu-ilmu halus, dan catatan-catatan menarik perhatian muncul. Generasi berikutnya, menyadari nilai ilmu dalam "hasyiyah" tersebut, kemudian memutuskan untuk memisahkannya dan menyebarkannya sebagai karya tersendiri. Karena itu, seringkali dalam penjelasan karya-karya ulama ditemukan ungkapan seperti, "lahu hasyiyah 'ala kadza jurridat fi mujallad" yang berarti "beliau mengarang 'hasyiyah' untuk kitab 'X', yang dipisahkan menjadi kitab tersendiri dalam satu jilid."
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa dalam konteks kedalaman ilmu, "hasyiyah" umumnya lebih tinggi daripada "syarah". Penulis "hasyiyah" pasti telah mempelajari dengan cermat "matan" dan "syarah" tersebut. Oleh karena itu, "hasyiyah" hanya cocok bagi mereka yang memiliki level keilmuan yang tinggi atau tingkat lanjut, karena ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam "hasyiyah" memang ditujukan untuk mereka yang telah memiliki pengetahuan mendalam dalam fikih. Bagi pemula, seharusnya mereka memulai dengan mempelajari "matan" atau ringkasan dan menghafalnya, lalu naik ke tingkat berikutnya dengan mempelajari "syarah", bukan langsung mengkaji "hasyiyah".
Sebagai kesimpulan, "hasyiyah" adalah penjelasan atau komentar yang berfungsi melengkapi atau mengoreksi "syarah" atau "matan". Ia menguraikan hal-hal yang sulit dan biasanya lebih cocok untuk tingkat keilmuan yang tinggi.
Kitab Taklik
Istilah "ta'liq" (التعليق) juga disebut sebagai "ta'liqoh" (التعليقة). Bentuk jamaknya adalah "ta'liqot" (التعليقات) atau "ta'aliq" (التعاليق). Secara bahasa, ta'liq memiliki makna "komentar," "penjelasan," atau "catatan." Ungkapan "u'alliqu 'ala kalamihi" berarti "Saya mengomentari ucapannya."
Dalam konteks ulama yang menulis kitab, ta'liq secara umum memiliki makna yang mirip dengan hasyiyah. Oleh karena itu, seseorang yang memahami perbedaan antara "syarah" dan "hasyiyah" kemungkinan besar sudah memahami secara umum makna ta'liq dan perbedaannya dengan "syarah." Informasi lebih lanjut tentang perbedaan antara syarah dan hasyiyah dapat ditemukan dalam catatan yang berjudul "Apa Bedanya Syarah dengan "Hasyiyah"?" Beberapa ulama bahkan menyatakan bahwa ta'liq dan hasyiyah adalah sinonim. Contoh ulama yang menyamakan keduanya adalah Haji Kholifah, yang menyatakan,
"Hasyiyah adalah istilah untuk menyebut pinggiran kitab. Setelah itu, bermakna tulisan yang diletakkan pada pinggiran kitab, termasuk juga catatan yang dipisahkan dan dikodifikasi secara independen. Hasyiyah juga disebut sebagai "ta'liqoh" (Kasyfu Azh-Zhunun, jilid 1 halaman 623)."
Penggunaan istilah "ta'liq" kadang-kadang juga merujuk pada "syarah" untuk bagian tertentu dari sebuah kitab. Di lain waktu, istilah ini digunakan untuk merujuk pada "amali" (الأمالي). Ta'liq juga bisa mengacu pada cuplikan dari kitab tertentu.
Contoh dari kitab "ta'liq" adalah "Ta’liqoh Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari," yang merupakan hasyiyah untuk "Mukhtashor Al-Muzani." Dari ta'liq ini, kemudian lahir kitab "Al-Muhadzdzab" karya Asy-Syirozi. Selanjutnya, dari Al-Muhadzdzab muncul "Al-Bayan" karya Al-‘Imroni dan "Al-Majmu’" karya An-Nawawi. Informasi lebih rinci tentang "Ta’liqoh Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari" dapat ditemukan dalam catatan berjudul "Mengenal Kitab At-Ta’liqoh Karya Abu Ath-Thoyyib Ath-Thobari."
Contoh lain dari "ta’liq" yang juga merupakan komentar untuk "Mukhtashor Al-Muzani" adalah "Ta’liqoh Al-Qodhi Husain." Ta’liqoh ini juga menjadi salah satu referensi penting dalam mazhab Asy-Syafi’i, terutama untuk memahami variasi "wujuh" dan ikhtilaf internal ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah.
Contoh "ta’liq" terkenal lainnya adalah kitab "Al-Mankhul Fi ‘Ilmi Al-Ushul" karya Al-Ghozzali. Materi kitab ini diambil dari halaqoh-halaqoh yang dihadiri bersama guru beliau, Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini. Al-Ghozzali menyunting, mengedit, dan menambahi materi tersebut dengan telaah beliau sendiri.
Terdapat berbagai jenis "ta’liq" lainnya, termasuk "Ta’liqoh Abu Al-Aswad Ad-Du-ali," "Ta’liqoh ‘Ala At-Targhib wa At-Tarhib Lil Mundziri" karya An-Naji (w. 900 H), "Ta’aliq ‘Ala Kitabi Abi Nashr Al-Farobi Fi Al-Madkhol wa Al-Fushul Min Isaghuji" karya Ibnu Bajah (w. 533 H), "Ta’liqot fi Kitabi Bari Armenias wa Min Kitabi Al-‘Ibaroh li Abi Nashr Al-Farobi" karya Ibnu Bajah (w. 533 H), "Ta’liqoh At-Tauqoti" (w. 900 H) ‘Ala Awa-ili Al-Bukhori," "Ta’liqoh As-Sururi" (w. 969 H), "At-Ta’liq ‘Ala Qunun Al-Hajz Al-Idari," dan sebagainya.
Proses munculnya kitab berjenis "ta’liq" terkait dengan tradisi dokumentasi ilmu pada masa lampau. Lafaz "ta’liq" berasal dari kata "‘allaqo," yang dalam bahasa juga bisa bermakna "mensyarah" (menjelaskan) atau "mencatat." Biasanya, ketika seorang guru memberikan penjelasan tentang suatu ilmu, ada murid cemerlang yang serius mencatat isi kajian tersebut dalam sebuah "tafkiroh/mufakkiroh" (semacam notepad/blocknote pada zaman itu). Catatan tersebut kemudian diulas kembali dan dihafalkan oleh sang murid. Saat melakukan tinjauan materi, sang murid mungkin menemukan gagasan, khowathir (catatan penting), dan hal-hal terkait lainnya dengan ilmu yang ditambahkan pada "notepad" tersebut. Seiring berjalannya waktu, sang murid dapat menemukan sistematika yang lebih baik untuk catatan tersebut sehingga menyusun ulang, menyunting, mengedit, dan menambahinya. Hasil dari catatan kajian yang dikelola dengan serius ini disebut "ta’liq/ta’liqoh."
Jadi, istilah "ta’liq" sebenarnya adalah catatan "harian" murid dari hasil menghadiri majelis ilmu yang berkualitas, yang kemudian meningkat menjadi sebuah kitab karena kontennya disusun dengan serius. Analogi yang lebih dekat dengan zaman sekarang mungkin seperti orang membuat catatan terpisah, lalu karena kualitasnya bagus, catatan-catatan tersebut dikumpulkan, disunting, disusun lebih baik, diberi tambahan data, dan akhirnya menjadi buku lengkap yang sistematis.
Dirangkum dari berbagai sumber