Hukum Berjimak dengan Istri yang belum Mandi Besar setelah Haid
Berhubungan intim atau melakukan hubungan suami-istri dianggap sebagai bentuk ibadah dalam konteks pernikahan. Aktivitas biologis ini, ketika dilakukan dalam batasan pernikahan, dianggap memiliki nilai kebajikan yang tinggi, sementara jika dilakukan di luar pernikahan dianggap sebagai tindakan dosa besar(zina). seperti Riwayat hadis:
يا رَسُولَ اللهِ، أيَأْتِي أحَدُنا شَهْوَتَهُ ويَكُونُ لَهُ فِيها أجْرٌ؟ قال: «أرَأيتُمْ لَوْ وضَعَها فِي حَرامٍ أكانَ عَلَيهِ فِيها وزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إذا وضَعَها فِي الحَلالِ كانَ لَهُ أجْرًا
Artinya, “Wahai Rasulullah SAW, 'Apakah terdapat nilai pahala ketika kita memuaskan hasrat seksual (jima')?' Rasulullah menjawab dengan bijak, 'Bukankah kalian tahu bahwa memuaskan hasrat seksual dengan cara yang diharamkan, seperti zina, akan mendatangkan dosa? Begitu juga, jika hasrat tersebut diungkapkan melalui jalur yang halal, maka akan mendatangkan pahala.” (HR Muslim).
Baca juga : Suami Mengaku Tidak Beristri, apakah terjadi Talak?
Menurut pandangan Syaikh Muhamad Amin Al-Harari, hubungan intim dapat menjadi suatu bentuk ibadah apabila dilakukan dengan niat yang tulus. Sebagai contoh, niat yang baik mencakup memenuhi hak-hak istri, mengharapkan keturunan yang saleh, dan menjaga diri dari godaan syahwat yang tidak halal, dan semisalnya.
فالجماع يكون عبادة إذا نوى به قضاء حق الزوجة ومعاشرتها بالمعروف الذي أمر الله تعالى به أو طلب ولد صالح أو إعفاف نفسه أو إعفاف الزوجة ومنعهما جميعًا من النظر إلى حرام أو الفكر فيه أو الهم به أو غير ذلك من المقاصد الصالحة
Artinya, "Melakukan hubungan intim (jima') dapat dianggap sebagai bentuk ibadah ketika dijalankan dengan niat untuk memberikan hak-hak istri, memperlakukan istri dengan baik sesuai perintah Allah Swt., mencari keturunan yang saleh, menghindari perbuatan zina, dan tujuan-tujuan baik lainnya." (Muhamad Amin al-Harari, al-Kaukab al-Wahhaj, juz XXII, halaman 31). Namun, nilai pahala besar dalam akti tersebut dapat berubah menjadi dosa besar jika dilakukan di luar waktu yang tepat, yaitu ketika hubungan intim dilakukan ketika istri sedang mengalami haid., sebagaimana yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi:
أنَّ الشّافِعِيَّ رحمه الله تَعالى قالَ: الوَطْءُ فِي الحَيْضِ كَبِيرَةٌ
Artinya, “Sesungguhnya Imam Syafi’i berkata: “Menyetubuhi istri dalam keadaan haid adalah dosa besar.” (An-Nawawi, Raudhatuth Thalibin, juz XI, halaman 233).
Berhubungan badan saat dalam keadaan haid tidak hanya bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi juga dapat memiliki konsekuensi merugikan bagi anak yang akan lahir di masa depan.
ذَكَرُوا أنَّ الجِماعَ فِي الحَيْضِ يُورِثُ عِلَّةً مُؤْلِمَةً جِدًّا لِلْمُجامِعِ وجُذامَ الوَلَدِ
Artinya, “Ulama mengatakan bahwa bersetubuh (jimak) dalam keadaan haid dapat menyebabkan rasa sakit bagi pelakunya dan penyakit kusta bagi anak yang kelak dilahirkan.” (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfahul Muhtaj, juz I, halaman 393).
Berapa lama larangan bersetubuh bagi perempuan yang sedang haid akan berlangsung? Apakah larangan ini berakhir setelah darah berhenti atau harus menunggu mandi besar terlebih dahulu? Menurut Imam Syamsyudin ar-Ramli dalam kitab Nihayahul Muhtaj, jika darah haid sudah berhenti tetapi perempuan belum membersihkan diri, maka pada saat itu masih tidak diizinkan bagi perempuan untuk melakukan hubungan intim, kecuali dalam konteks ibadah puasa. Imam Syamsyudin menjelaskan bahwa dalam kondisi seperti ini, perempuan dianggap seperti laki-laki junub yang diizinkan untuk menjalankan ibadah puasa.
فَإذا انْقَطَعَ) دَمُ الحَيْضِ فِي زَمَنِ إمْكانِهِ ومِثْلُهُ النِّفاسُ (لَمْ يَحِلَّ قَبْلَ الغُسْلِ) أيْ أوْ التَّيَمُّمِ (غَيْرُ الصَّوْمِ) لِأنَّ الحَيْضَ قَدْ زالَ وصارَتْ كالجُنُبِ وصَوْمُهُ صَحِيحٌ بِالإجْماعِ
Artinya, Setelah menstruasi atau nifas selesai tetapi belum melakukan mandi besar, bagi perempuan, dilarang melakukan hal-hal tertentu, kecuali dalam konteks ibadah puasa. Pernyataan ini berasal dari Imam ar-Ramli, seperti yang dijelaskan dalam Nihayatul Muhtaj, juz I, halaman 333. Imam ar-Ramli menjelaskan bahwa larangan-larangan terkait masa haid masih tetap berlaku meskipun darah menstruasi atau nifas sudah berhenti, termasuk larangan berhubungan intim baik bagi suami maupun istri. Larangan tersebut ditegaskan kembali oleh Imam An-Nawawi dalam kitab al-Majmu’:
وإذا طَهُرَتْ مِن الحَيْض حَلَّ لَها الصَّوْمُ لِأنَّ تَحْرِيمَهُ بِالحَيْضِ وقَدْ زالَ… ولا يَحِلُّ الِاسْتِمْتاعُ بِها حَتّى تَغْتَسِلَ
Artinya, “Ketika perempuan telah selesai dari haid, halal baginya ibadah puasa. Karena keharaman puasa hilang besertaan hilangnya darah haid ... Namun tidak halal bagi suami untuk melakukan hubungan badan dengan istri sampai istri melakukan mandi besar.” (An-Nawawi, al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz II, halaman 366). Dalil yang mendasari hukum di atas firman Allah:
ولا تَقْرَبُوهُنَّ حَتّى يَطْهُرْنَ فَإذا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِن حَيْثُ أمَرَكُمُ اللَّهُ
Artinya, “Jangan kalian mendekati (menyetubuhi) perempuan yang haid hingga mereka telah bersuci. Jika telah bersuci, maka datangilah mereka sesuai dengan jalan yang diperintahkan Allah.” (QS al-Baqarah: 222).
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak diperbolehkan bagi pasangan suami istri untuk melakukan hubungan intim setelah menstruasi berhenti, tetapi sebelum mandi besar dilakukan. Setelah melaksanakan mandi besar, semua larangan terkait dengan masa haid dianggap selesai. Oleh karena itu, seharusnya pasangan suami istri menyelesaikan konflik keluarga mereka dengan bijaksana agar pernikahan, yang seharusnya menjadi ladang pahala, tidak menjadi sumber dosa bagi mereka.
Baca juga : Suami Keceplosan Mentalak Istri