Biografi Syekh Yusuf al-Makassari
Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makassari al-Bantani asy-Syafi'i mengabdikan dirinya dalam segala usaha yang dapat membawanya pada pemahaman akan Tuhan (ma'rifatullah).
Pada usia 18 tahun pada tahun 1644, beliau berlayar ke arah barat untuk memperdalam ilmu dan menunaikan ibadah haji, menjalani masa santri yang berkelana. Berhenti di Yaman, Yusuf muda berbaiat kepada seorang mursyid tarekat Naqsyabandiah, yaitu Syekh Muhammad Abdul Baqi.
Setelah tiba di kota Nabi, Madinah, beliau berbaiat kepada tarekat Syatariah di bawah bimbingan guru para ulama Nusantara, yaitu Syekh Ibrahim al-Kurani. Perjalanan ilmunya yang teguh membawanya ke Damaskus untuk berbaiat kepada tarekat Khalwatiah. Selama sekitar dua puluh lima tahun, beliau menjelajah dan menjadi santri di Jazirah Arab.
Setelah kembali dari perjalanan panjangnya, kita menemukan guru yang cakap ini menikah pada tahun 1672 dengan putri Sultan Banten, Sultan Agung Tirtayasa. Beliau juga diangkat menjadi mufti Kerajaan Banten, berhasil menanamkan etika keislaman di kerajaan tersebut. Lebih dari itu, kehadiran seorang guru agung menjadikan Banten sebagai pusat pendidikan Islam pada zamannya.
Semua kenikmatan duniawi yang diidamkan manusia ada pada dirinya. Ilmu agama, beristri putri raja, dan memiliki kedudukan yang mulia. Namun, dengan cepat semua kenikmatan tersebut ditinggalkannya. Fase kehidupan berikutnya menjadi bukti akan kesatuan kehidupan di dunia yang selama ini telah dipelajarinya. Islam mengajarkan agar kehidupan politik (kerajaan, kekaisaran, atau demokrasi) terintegrasi dengan kehidupan moral spiritual. Tidak ada kehidupan duniawi tanpa kehidupan ukhrawi, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, segala aspek kehidupan manusia, termasuk perang, diatur dalam agama ini. Fase jihad datang kepada Syekh Yusuf.
Pada tahun 1682, Syekh Yusuf yang telah berusia 56 tahun memilih untuk menjadi pemimpin bagi ribuan pengikut setianya melawan putra mahkota, Sultan Haji, yang bersekongkol dengan Kompeni Belanda. Kepala sang sufi itu dihargai 1.000 Rijksdaalders (koin Kompeni Belanda), baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Tubuhnya sudah cukup tua. Selama hampir dua tahun, beliau keluar masuk hutan, mendaki pegunungan, mengarungi sungai, dan bersembunyi di berbagai daerah. Sebuah upaya untuk menghindari kejaran pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Johan Ruijs van’s Gravenhage dan Sersan Johannes Maurits van Happel.
Catatan Residen Priangan mencatat bahwa beliau memiliki 5.000 pengikut yang terlibat dalam perang itu. Jumlah ini belum termasuk para pendukungnya di berbagai daerah yang mendukungnya namun tidak turun berperang secara aktif. Para pendukung inilah yang berjuang menghadang penangkapan Syekh Yusuf. Mereka yang akhirnya mati dipenggal oleh para bupati di daerah masing-masing.
Pada paruh pertama bulan Desember 1683, Syekh Yusuf ditangkap. Catatan Raja Gowa menyebutkan bahwa beliau ditangkap di sebuah sungai yang disebut Segaraanakan. Catatan Belanda menyebutkan penangkapan ini terjadi di Sungai Citanduy di Banjar. Ribuan pengikut yang berusaha membantunya menghambat tentara Belanda di Cikondang telah dibunuh.
Pada 23 Januari 1684, sisa-sisa pengikutnya yang berasal dari suku Melayu, Makassar, Bugis, dikembalikan ke daerah masing-masing. Sedangkan sang sufi dibawa ke Batavia bersama dengan pengikut inti-nya yang berjumlah 12 santri, dan 37 wanita dan anak perempuan.
12 September 1684, Kompeni Belanda memutuskan membawanya ke Sri Langka (Ceylon) karena orang-orang Batavia sangat memuja sang sufi. Mulai 9 Januari 1690, berkali-kali utusan dari Pangeran Kerajaan Gowa berusaha untuk membebaskannya. Ketakutan akan pengaruh yang masih besar di Sri Langka dari wali besar itu, pada 7 Juli 1693, Syekh Yusuf dibuang kembali di Tanjung Harapan (Cape Town) Afrika Selatan. Dalam catatan Raja Gowa tertulis bahwa Syekh Yusuf wafat pada Jumat, 22 Zulkaidah 1110, 22 Mei 1699.
Kematian tidak menyurutkan kekaguman pada Sufi ini. Setiap tahun keturunan dari orang-orang Nusantara yang dibuang di Afrika Selatan berziarah ke makamnya di pertanian Zandvliet, Tanjung Harapan. Pada 5 April 1705, atas permintaan Raja Gowa, jasad suci itu dipindahkan ke kampung Lakiyung di Gowa.
Dalam "Syekh Yusuf Makasar: Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya," Tudjimah keliru menyebutkan tahun ini dengan 1795. Namun, makamnya yang berada di Tanjung Harapan tetap dimuliakan dan diziarahi oleh orang-orang hingga hari ini.
Melalui jerih payahnya, Syekh Yusuf dihormati sebagai pahlawan Indonesia. Akan tetapi, pengakuan tersebut menyempitkan perjalanan hidupnya sebagai seorang santri dan sufi, selain sebagai pejuang politik. Nama pahlawan seringkali terkait dengan para pejuang yang melawan Kompeni Belanda, padahal perjalanan penuh pengembaraannya sebagai seorang pejuang memiliki nuansa yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Meskipun dianggap sebagai pahlawan, Syekh Yusuf tetap setia sebagai seorang sufi. Dalam manuskrip berkode "Or. 7025" yang disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden Belanda, banyak karya Syekh Yusuf yang diabadikan, mencapai sekitar 25 karya. Sayangnya, karya-karya ini belum mendapatkan kajian serius. Kitab-kitab yang ditulisnya adalah penjabaran ajaran sufi yang telah dipelajarinya. Beberapa di antaranya adalah Syarah Futuhat al-Makkiyah karya Syaikhul Akbar, Muhyiddin Ibnu Arabi, yang diajarkan oleh gurunya, Syekh Ibrahim al-Kurani.
Dalam Tajul Asrar fi Tahqiq Masyrabil Arifin (Mahkota Rahasia dalam Penemuan Hakikat Tempat Minum Para Arif), Syekh Yusuf menguraikan hadis Nabi saw:
"Keimanan seorang hamba yang paling utama adalah (iman yang menjadikan) dia mengetahui bahwa sungguh Allah selalu bersamanya di manapun dia berada."
Kebersamaan dengan Allah bersifat menyeluruh. Seperti kebersamaan ruh dengan jasad.
Artikel selanjutnya akan membahas lebih rinci beberapa karya Syekh Yusuf. Kembali ke pertanyaan sebelumnya, mengapa Syekh Yusuf memilih untuk menggunakan senjata setelah mengetahui perjalanan hidupnya?
Jawabannya mungkin dapat disimpulkan dari keluhan catatan residen Priangan:
"Jadi, setelah satu tahun kesulitan, usaha, dan perjuangan, tujuan untuk mencegah kerusuhan fanatisme Mohammedanisme telah tercapai. Ini terutama karena jasa, dedikasi, dan kebijaksanaan Johan Maurits van Happel. Syekh Yusuf meninggal di pengasingan di Cape Town, dan sampai hari ini dihormati sebagai orang suci yang oleh para Slamajers, yaitu keturunan orang-orang Melayu di sana; mereka berkumpul secara teratur di makamnya–sedangkan makam Van Happel di Tanahabang dilupakan."
Atau mungkin tidak? Hamka dalam "Dari Perbendaharaan Lama" mencatat bahwa masyarakat di tanah kelahiran Syekh Yusuf mengenang beliau dengan sederhana. Tuanta Samalaka. Tuan kami yang penuh berkah. Itulah yang dicari para peziarah. Berkah seorang wali bernama Syaikh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makassari al-Bantani asy-Syafi'i.
"Syekh Yusuf al-Makassari terutama dikenal sebagai seorang sufi," demikian yang diungkapkan oleh Azra (2006) dalam bukunya yang berjudul "The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries." Namun, pengetahuan masyarakat kita tentang ajaran yang disebarkan oleh sang sufi ini cenderung terbatas.
Keterbatasan ini dapat dimaklumi karena karya-karya Syekh Yusuf, yang semuanya ditulis dalam bahasa Arab, hingga kini belum banyak yang diterbitkan. Meskipun ada fragmen-fragmen karyanya yang diterjemahkan dalam buku "Tudjimah" (1987) berjudul "Syekh Yusuf Makasar: Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya," penerjemahan tersebut belum sepenuhnya memadai. Penerjemahan kurang lancar dan kesalahan pemahaman dapat ditemui di beberapa bagian.
Beberapa tulisan Syekh Yusuf juga diterjemahkan oleh Mustapha Keraan dan Muhammed Haron (2008) dalam buku "Selected Sufi texts of Shaykh Yusuf: Translations and Commentaries." Namun, terjemahan ini menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, hanya sebagian kecil dari karya-karya Syekh Yusuf yang tercakup dalam terjemahan tersebut.
Seri tulisan ini belum mencakup upaya untuk menerjemahkan keseluruhan karya Syekh Yusuf. Tujuan dari tulisan ini lebih kepada melengkapi gambaran tentang seorang tokoh yang memimpin ribuan orang, menginspirasi semangat mereka untuk melawan kekuasaan Belanda pada masa itu. Upaya ini bertujuan untuk mengulas sebagian kecil dari warisan intelektualnya dan untuk memahami keyakinan seorang sufi yang hidup pada abad ke-17.
Ketika C. Snouck Hurgronje meninggal pada tahun 1936, ia meninggalkan koleksi manuskrip yang signifikan ke Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Salah satu manuskrip tersebut adalah Or. 7025, yang dianggap penting oleh Snouck Hurgronje. Ia bahkan menambahkan catatan tambahan pada manuskrip tersebut.
Manuskrip ini berisi sepuluh naskah yang diatributkan kepada Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makassari al-Bantani asy-Syafi’i. Kemungkinan besar, ini adalah salinan naskah yang disalin oleh para muridnya di Nusantara. Hamka dalam "Perbendaharaan Lama" menceritakan bahwa Syekh Yusuf tetap berhubungan dengan para muridnya di Nusantara, terutama di Makassar dan Banten. Beliau juga mengirimkan naskah ajaran tasawuf yang ditulisnya kepada mereka melalui para haji yang singgah ketika beliau berada di Ceylon (Sri Lanka).
Manuskrip ini mungkin merupakan salinan yang dimiliki oleh murid Syekh Yusuf di Banten. Bahasa Jawa memiliki posisi penting di Kesultanan Banten, baik dalam konteks politik maupun sosial. Halaman 53 r. dari manuskrip tersebut berisi doa yang berasal dari Syekh Mulla Ibrahim (al-Kurani?), yang diterjemahkan dalam gaya "jenggotan" pesantren.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa, dengan contoh kata "ij’al" yang diartikan sebagai "dadékaken," dan kata "lihajatina" diartikan sebagai "ing sekéhé hajat kita." Meskipun penelitian tentang perkembangan pemaknaan pegon di pesantren masih terbatas, dapat disimpulkan bahwa manuskrip ini bukan berasal dari awal abad ke-20. Gaya pemaknaan menunjukkan ketiadaan penggunaan rumus penanda gramatika Arab yang muncul pada awal abad tersebut. Voorhoeve memperkirakan bahwa naskah ini berasal dari awal abad ke-19, kendati landasan penilaian Voorhoeve tidak diketahui.
Naskah pertama dalam manuskrip ini adalah "Tajul Asrar fi Tahqiq Masyrabil Arifin" (Mahkota Rahasia dalam Penemuan Oase Para Arif), yang terdapat pada folio 1-9. Pada halaman pertama, lembaran naskah ini sudah robek separuh. Namun, kita masih dapat mengidentifikasi penulisnya sebagai Abil Mahasin Syekh al-Hajj Yusuf at-Taj.
Kitab ini ditulis atas permintaan sebagian murid dan sahabat dekat Syekh Yusuf. Mereka memohon penjelasan mengenai kitab "al-Futuhat ar-Rabbaniyyah wal Asrar al-Ilahiyyah." Jawaban atas permintaan ini disertai dengan sikap rendah hati, di mana Syekh Yusuf mengakui bahwa "maqam"nya belum memadai untuk menjelaskan ilmu tersebut. Beliau merasa bukanlah seorang ahli penulisan kitab dan menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan pemahaman.
Kitab ini dimulai dengan menjelaskan makna beberapa firman Allah Swt. yang berkaitan dengan "ma’iyyah" (sifat kebersamaan) dan "ihathah" (sifat meliputi). Dalam ayat 4 surah al-Hadid, Allah berfirman: "Dan Dia (Allah) selalu bersama kalian di mana saja kalian berada." Konsep "ma’iyyah" Allah dijelaskan oleh Syekh Yusuf sebagai kebersamaan antara ruh dan tubuh, bukan kebersamaan antara satu benda dengan benda lainnya, seperti "saya bersama Anda" atau "buku Islam Yang Saya Kenal karya Prof. Dr. Quraish Shihab selalu bersama saya dalam perjalanan dua hari terakhir."
Tafsiran mengenai "ma’iyyah" ini dibagi menjadi tiga golongan oleh para ahli tafsir. Golongan pertama menyebutkan bahwa kebersamaan Allah terjadi melalui ilmu, sementara golongan kedua menambahkan bahwa hal ini terjadi melalui ilmu dan qudrah. Golongan terakhir menyatakan
bahwa Allah "bersama" hamba-Nya dengan "Zat"-Nya atau "Wujud." Syekh Yusuf termasuk dalam golongan ketiga.
Selanjutnya, mengenai "ihathah" seperti yang terdapat dalam ayat 126 surah an-Nisa’: "Dan Allah meliputi segala sesuatu." Syekh Yusuf menjelaskan bahwa "peliputan" ini bersifat menyeluruh, mirip dengan peliputan yang disifati oleh sifat-sifatnya. Ini bukanlah peliputan antara satu hal dengan hal lainnya, seperti "salju tebal melingkupi Gunung Jayawijaya," yang artinya menutupinya.
Syekh Yusuf terus menjelaskan bahwa meskipun kebersamaan dan peliputan Ilahi bersifat sempurna dan kadang-kadang sulit dibedakan, seorang hamba tetaplah sebagai hamba meskipun dia "naik" menuju Allah, mengalami fana’ lalu abadi di dalam-Nya, dan disifati dengan sebagian sifat-sifat-Nya. Begitu pula, Tuhan tetaplah Tuhan, meskipun Dia "turun" dan menjadi "tampak" dalam hamba, serta disifati dengan sebagian sifat hamba-Nya. Syekh Yusuf memperingatkan agar seseorang tidak melampaui batasan ini, atau ia akan masuk ke dalam api neraka.
Penting diingat bahwa "ma’iyyah" dan "ihathah" seperti ini mengikuti sifat Allah sebagai "Yang Awal-Yang Akhir, Yang Lahir-Yang Batin." Keduanya hanya dapat ditetapkan dari sisi Allah kepada hamba-Nya, bukan sebaliknya.
Syekh Yusuf memberikan peringatan bahwa pemahaman ini hanya akan bermanfaat bagi mereka yang mematuhi Syariah secara zahir. Baginya, banyak orang terjatuh dalam kesalahan di sini. Pada abad ke-17, petunjuk ini sudah muncul. Ini penting karena beberapa penafsir meninggalkan ibadah akibat terjatuh dalam pemahaman yang salah.
Namun, pada masa sekarang, banyak yang beribadah namun meninggalkan pemahaman hakikat Allah. Ini juga menjadi peringatan dari Syekh Yusuf. Mengutip pendapat mereka yang mengenal Allah ("arif bilah"), "Syariat tanpa Hakikat adalah sia-sia, dan Hakikat tanpa Syariat adalah kegagalan." Wallahu a’lam.
Baca juga : Profil Syaikh Zakaria Anshari