Mayyit dijadikan Kadaver dalam Pandangan Islam
Penggunaan Mayat dalam Pendidikan Kedokteran dan Perspektif Islam
Dalam pendidikan kedokteran, istilah 'bedah mayat anatomis' mengacu pada praktik mempelajari anatomi manusia melalui pembedahan mayat. Proses ini merupakan bagian penting dari kurikulum kedokteran, membantu mahasiswa memahami struktur dan fungsi tubuh manusia. Penggunaan kadaver sebagai alat penelitian ilmiah menjadi fundamental dalam pembelajaran kedokteran modern.
Perspektif Islam terhadap Penggunaan Mayat
Bagaimana pandangan Islam terhadap penggunaan mayat sebagai kadaver dalam pendidikan kedokteran? Islam sangat menjunjung tinggi penghormatan terhadap tubuh manusia, baik ketika hidup maupun setelah meninggal. Mayat dilarang direndahkan atau dirusak dengan cara apapun.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra, Rasulullah Saw bersabda:
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
Yang artinya, “Mematahkan tulang mayat sama seperti mematahkannya saat hidup.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Menurut As-Shan'ani, hadis ini menekankan larangan menyakiti mayat dalam bentuk apapun, seperti memukul atau melukai, karena mayat akan merasakan sakit seperti saat hidup. (As-Shan’ani, At-Tanwir Syarh Jami’is Shaghir, [Riyadh, Maktabah Darussalam: 2011], juz VIII, halaman 146).
Pandangan Ulama dan Keputusan Muktamar NU
Penggunaan mayat dalam penelitian ilmiah dibahas pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makassar pada 27 Maret 2010. Dalam muktamar tersebut diputuskan bahwa membedah jenazah yang telah diawetkan untuk tujuan studi diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika diperlukan.
Keputusan ini merujuk pada pendapat ulama kontemporer Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islami. Syekh Wahbah mengizinkan pembedahan mayat untuk studi kedokteran jika diperlukan dan tidak ada alternatif lain.
وبناء على هذه الآراء المبيحة: يجوز التشريح عند الضرورة أو الحاجة بقصد التعليم لأغراض طبية، أو لمعرفة سبب الوفاة وإثبات الجناية على المتهم بالقتل ونحو ذلك لأغراض جنائية إذا توقف عليها الوصول إلى الحق في أمر الجناية، للأدلة الدالة على وجوب العدل في الأحكام، حتى لا يظلم بريء، ولا يفلت من العقاب مجرم أثيم
Yang artinya, “Berdasarkan pendapat ini, diperbolehkan melakukan otopsi pada tubuh jenazah dalam kondisi darurat atau jika diperlukan, untuk tujuan pendidikan kedokteran, mengetahui sebab kematian, atau menetapkan pidana dalam kasus pembunuhan dan semacamnya. Ini berdasarkan dalil-dalil keharusan menegakkan keadilan hukum.” (Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Damaskus, Darul Fikr: 2015], juz III, halaman 521).
Dalam konteks ini, terdapat dua kemaslahatan yang harus dipertimbangkan: menjaga kehormatan jenazah dan pentingnya pendidikan medis. Pendidikan medis dianggap lebih utama karena berdampak pada kesehatan masyarakat umum, pengobatan, dan pencegahan penyakit.
Menurut kaidah fiqih, jika ada dua kemaslahatan yang bertentangan, maka harus didahulukan yang lebih besar manfaatnya.
إذا تعارضت المصلحتان وتعذر جمعهما فإن علم رجحان إحداهما قدمت
Yang artinya, “Jika dua kemaslahatan bertentangan dan sulit mengumpulkan keduanya, jika diketahui salah satunya lebih besar, maka yang lebih besar didahulukan.” (Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1991], juz I, halaman 44).
Baca juga: Diyatnya Orang Kafir
Kebijakan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur
Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tahun 2016 menyebutkan bahwa jenazah yang boleh dibedah untuk kepentingan medis adalah jenazah yang tidak terhormat, seperti kafir harbi, murtad, dan kafir zindiq. Sementara jenazah Muslim tidak diperkenankan. Penentuan kriteria ini merujuk pada kitab Fiqhul Nawazil:
والرأي الثالث: التفصيل في هذه المسألة أنه يجوز تشريح جثة الكافر لغرض التعلم وأما المسلم فلا يجوز تشريح جثته
Yang artinya, “Pendapat ketiga merinci bahwa boleh membedah jenazah kafir untuk tujuan pendidikan, sedangkan jenazah Muslim tidak boleh dibedah.” (Bakr bin Abdullah, Fiqhun Nawazil, [Saudi, Muassasatur Risalah: 1996], juz II halaman 54).
Etika dalam Pemanfaatan Mayat sebagai Kadaver
Meski diperbolehkan, penggunaan jenazah sebagai kadaver untuk tujuan medis harus mematuhi prinsip-prinsip syariat. Penghormatan terhadap jenazah harus tetap dijaga, dan pembedahan dilakukan sesuai kebutuhan tanpa berlebihan. Setelah proses selesai, jenazah harus dirawat dengan baik, dimandikan, dishalati, dikafani, dan dikuburkan.
ينبغى عدم التوسع فى التشريح لمعرفة وظائف الأعضاء وتحقيق الجناية والإقتصار على قدر الضرورة أو الحاجة وتوفير حرمة الإنسان الميت وتكريمه بمواراته وستره وجمع أجزائه وتكفينه وإعادة الجثمان لحالته بالحياطة ونحوها بمجرد الانتهاء من تحقيق الغاية المقصودة
Yang artinya, “Sebaiknya tidak sembarangan dalam membedah untuk mengetahui fungsi-fungsi organ dan penegakan hukum, serta hanya sesuai dengan kebutuhan. Kehormatan jenazah harus dijaga, dan jenazah dimuliakan dengan ditutupi, dikumpulkan anggota tubuhnya, dikafani, dan dikembalikan ke kondisi semula setelah tujuan tercapai.” (Az-Zuhaili, II/522).
Kesimpulan
Secara keseluruhan, penggunaan mayat untuk penelitian ilmiah dalam fiqih Islam diperbolehkan selama menjadi kebutuhan mendesak dan merupakan satu-satunya cara. Setelah digunakan sebagai kadaver, jenazah harus mendapatkan hak-haknya sesuai dengan aturan agama.