Habib Ali Al-Jufri : Pria Zaman Sekarang Tidak Pantas Berpoligami
Habib Ali al-Jufri, dalam sebuah diskusi bersama feminis Mesir Dr. Hala Diyab, menjelaskan pandangan syariat tentang poligami. Dalam pembicaraan ini, beliau mengungkapkan pengalamannya sebagai seseorang yang pernah menjalani poligami, dan menyatakan bahwa banyak laki-laki di zaman sekarang, termasuk dirinya sendiri, tidak cocok untuk berpoligami.
Habib Ali menjelaskan bahwa secara alami, keinginan laki-laki tidak memiliki batasan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah di mana poligami sering terjadi di berbagai masyarakat lintas peradaban. Oleh karena itu, QS. an-Nisa’ ayat 3 menetapkan batasan hingga empat istri sebagai solusi untuk mengatasi masalah ini.
“Kenapa dibatasi empat, bukan hanya satu?” tanya Habib Ali, menjelaskan bahwa dalam situasi tertentu, seorang laki-laki mungkin perlu menikahi lebih dari satu perempuan. Misalnya, jika dalam sebuah pernikahan, istri tidak bisa memiliki anak sementara suami subur, agama memberikan kesempatan bagi suami untuk menikah lagi. Namun, jika istri setuju untuk tetap bersama meskipun suami menikah lagi, itu lebih baik daripada bercerai," jelasnya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Wahbah Zuhaili dan Syekh Ramadhan al-Buthi, hukum asli poligami adalah mubah (diperbolehkan). Mereka menegaskan bahwa menikahi satu perempuan adalah yang utama, sementara poligami diperbolehkan dalam keadaan yang memerlukan, dengan alasan-alasan tertentu.
Habib Ali al-Jufri menekankan pentingnya syarat-syarat dan batasan dalam poligami, sebagaimana tercantum dalam ayat 3 surah an-Nisa’. Jika seorang suami menyadari bahwa ia tidak mampu berbuat adil, maka satu istri sudah cukup. “Keadilan bukan hanya soal perasaan atau kecenderungan emosional, tetapi juga adil dalam hal tempat tinggal dan pemenuhan nafkah,” tambahnya.
Ayat “Fain khiftum alla ta’dilu fa wahidah” bukan berarti “Seseorang tidak mungkin adil.” Habib Ali menjelaskan bahwa jika keadilan itu dibatalkan dari aspek aturan, maka poligami seharusnya sudah dibatalkan sejak zaman sahabat dan keturunan Nabi. Kenyataannya, tidak dibatalkan. Yang dituntut adalah keadilan diri.
Keadilan diri, menurut Habib Ali, berarti menerima bahwa poligami pasti menimbulkan perasaan sakit hati dan perubahan sikap perempuan terhadap suaminya. "Ini adalah bagian dari keadilan yang harus diterima suami, harus rela, bukan malah membenarkan diri untuk mengabaikan istri pertama dan lebih memperhatikan istri kedua," jelasnya.
Setelah menjelaskan pandangan agama tentang poligami, Habib Ali al-Jufri menceritakan pengalamannya. "Saat itu saya berusia 22 tahun dan saya berpoligami dengan alasan banyak syarifah yang belum menikah. Saya berpikir bahwa dengan menikahi sebagian dari mereka, saya dapat 'menjaga' mereka di rumah saya dan mendapatkan pahala karena membantu mereka," katanya.
Namun, kemudian Habib Ali merenungkan niatnya dan bertanya pada dirinya sendiri apakah niatnya benar-benar tulus. "Jika memang begitu, mengapa tidak memberikan harta itu kepada lelaki lain yang layak menikahi perempuan tersebut? Bukankah dengan itu, saya juga mendapatkan pahala besar?" tambahnya.
Pernyataan ini mungkin mengejutkan banyak orang, tetapi bukan berarti Habib Ali menolak syariat poligami. Ia tetap berpendapat bahwa poligami hukumnya mubah dan bahkan dianjurkan dalam beberapa keadaan.
"Setelah berpoligami, saya menyimpulkan bahwa umumnya laki-laki sekarang tidak layak berpoligami, termasuk saya sendiri. Andaikan bisa mengulang waktu, saya tidak akan berpoligami. Bukan karena poligami salah, tapi karena poligami harus berdasarkan situasi, tidak hanya syarat tertentu, tetapi juga sifat atau karakteristik laki-laki yang akan berpoligami," tuturnya.
Habib Ali menjelaskan bahwa seorang yang memutuskan untuk berpoligami harus mampu menguasai keadaan, mengatasi konflik, dan menyembuhkan luka. Tidak semua orang memiliki kemampuan ini.
Menurut Habib Ali, adalah sifat alami seorang perempuan untuk tidak rela jika suaminya menikah lagi, meskipun telah mendengar banyak dalil, nash, dan hikmah syariat poligami. Ini adalah tabiat setiap istri. Bahkan Sayyidah Aisyah, seorang perempuan mulia, merasa cemburu pada istri-istri Rasulullah lainnya.
Habib Ali mengkritik pandangan yang mengukur iman istri dari kesediaannya untuk dimadu. "Mereka yang berpendapat seperti itu seolah ingin menghilangkan sifat asli perempuan," tuturnya.
Demikianlah penjelasan Habib Ali al-Jufri tentang syariat poligami. Dari pengalamannya, ia menyimpulkan bahwa banyak pria di zaman ini tidak layak untuk berpoligami.