Menyicipi Masakan saat Puasa
Merupakan kebiasaan umum bagi para ibu untuk mencicipi masakan saat memasak, termasuk saat menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa. Demi memastikan rasa makanan yang lezat dan sesuai dengan selera, seringkali para ibu mencicipi masakannya terlebih dahulu. Jangan sampai karena kurangnya gula atau garam, masakan menjadi hambar dan suasana berbuka puasa menjadi kurang menyenangkan. Bagaimana hukum mencicipi makanan saat berpuasa?
Jawaban
Mencicipi makanan hukumnya boleh tidak membatalkan puasa dengan syarat makanan hanya sebatas dicicipi dan tidak sampai ke tenggorokan, hal ini jika terdapat pada kondisi yang sangat dibutuhkan. Jika tidak, maka dimakruhkan karena khawatir makanan tersebut masuk ke dalam tenggorokan.
Referensi
الشرقاوي ج ١ ص ٤٤٥
ومحل الكراهة ان لم تكن له حاجة اما الطباح رجلا كان او امراءة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي
Larangan tersebut berlaku jika tidak ada kebutuhan. Namun, bagi seorang tukang masak, baik laki-laki maupun perempuan, atau seseorang yang memiliki anak kecil yang perlu dia suapi, maka hal tersebut tidak dimakruhkan bagi mereka. Demikian yang dikatakan oleh Al-Ziyadi.
تحفة المحتاج في شرح المنهاج ج ٣ ص ٤٢٥
عَنْ ذَوْقِ الطَّعَامِ وَغَيْرِهِ بَلْ يُكْرَهُ خَوْفًا مِنْ وُصُولِهِ إِلَى حَلْقِهِ (قَوْلُهُ إِلَى حَلْقِهِ) قَضِيَّتُهُ أَنَّ وُصُولَهُ قَهْرًا عَلَيْهِ مُفْطِرٌ وَلَا يَبْعُدُ فِيمَا إِذَا احْتِيجَ لِلذَّوْقِ أَنْ لَا يَضُرَّ. ـهُ إِلَى الْجَوْفِ كَمَا يُؤْخَذْ مِمَّا تَقَدَّمَ فِي الْحَاشِيَةَ عَنِ الْأَنْوَارِ (قَوْلُهُ بَلْ يُكْرَهُ إِلَخْ نَعَمْ إِنِ احْتَاجَ إِلَى مَصْعَ نَحْوِ خُبْزَ لِطِفْلٍ لَّمْ يُكْرَهُ نِهَايَةِ وَإِيعَاتٍ قَالَ ع قَوْلَهُ نَعَمْ إِنِ احْتَاجَ إِلَخْ قَضِيَّةُ اقْتِصَارِهِ عَلَى ذَلِكَ كَرَاهَةٌ ذَوقِ الطَّعَامِ الغَرَض إِصْلَاحِهِ لِمُتَعَاطِيهِ وَيَنْبَغِي عَدَمُ كَرَاهَتِهِ لِلْحَاجَةِ وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ مُفْطِرٌ غَيْرُهُ لأَنَّهُ قَدْ لَا يُعْرَفَ إِصْلَاحَهُ مِثْلَ الصَّائِمِ اهـ (قَوْلُهُ فِـ الْمَتْنِ وَذَوَقِ الطَّعَامِ وَالْعِلْكِ) وَمَحَلَهُ فِي غَيْرِ مَا يَتَفَتَّتُ أَمَّا هُوَ فَإِنْ تَيَقَّنَ وُصُولَ بـ جِرْمِهِ عَمْدًا إِلَى جَوْفِهِ أَفْطَرَ وَحِينَئِذٍ يَحْرُ مَضْغَهُ بِخِلَافِ مَا إِذَا شَكَ أَوْ وَصَلَ طَعْمُهُ أَوْ رِيحُةً لِأَنَّهُ مُجَاوِرٌ أَهَـ
Mencicipi makanan dan hal lainnya dimakruhkan karena dikhawatirkan akan sampai ke tenggorokan. (Keterangan: "sampai ke tenggorokan") Artinya, jika secara tidak sengaja sampai ke tenggorokan, itu membatalkan puasa, dan hal ini tidak mustahil. Jika diperlukan untuk mencicipi makanan, maka tidak akan merusak puasa meskipun ada sedikit yang masuk ke dalam perut, seperti yang diambil dari apa yang disebutkan sebelumnya dalam catatan dari kitab Al-Anwar. (Keterangan: "Dimakruhkan") Ya, jika seseorang membutuhkan untuk mengunyah roti, misalnya, untuk seorang anak kecil, maka hal itu tidak dimakruhkan. Demikian dikatakan dalam kitab Nihayah dan I'ab. Syekh Ibnu Hajar mengatakan: Keterangan ini menunjukkan bahwa mencicipi makanan untuk memperbaiki rasanya bagi orang yang membuatnya adalah makruh, dan seharusnya tidak dimakruhkan jika memang diperlukan, meskipun bagi seseorang yang tidak sedang berpuasa itu mungkin membatalkan puasanya, karena memperbaiki makanan terkadang tidak diketahui kecuali oleh orang yang berpuasa. (Keterangan: "Dalam matn, mencicipi makanan dan mengunyah permen karet") Hal ini berlaku kecuali jika benda yang dikunyah terpecah-pecah. Namun, jika seseorang yakin bahwa sebagian kecil darinya secara sengaja masuk ke dalam perut, maka puasanya batal, dan mengunyahnya menjadi haram. Berbeda halnya jika dia hanya ragu-ragu, atau jika hanya rasa atau aromanya yang sampai ke dalam perut, karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang dekat (bukan zat yang masuk ke dalam perut).
Baca juga : Doa berbuka puasa sesuai dengan hadis
نهاية المحتاج . ۱۸۳
الْأَوَّلُ فِي حُكْمِهَا وَهُنَا فِي أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ تَرْكُهَا وَذَوْقِ الطَّعَامِ أَوْ غَيْرِهِ خَوْفَ الْوُصُولِ إِلَي حَلْقِهِ أَوْ تَعَاطِيهِ لِغَلَبَةِ شَهْوَتِهِ نَعَمْ إِنْ احْتَاجَ إِلَى مَصْغِ خَيْرٌ لِطِفْلِ لَمْ يُكْرَهُ (وَالْعِلْكُ) بِفَتْحِ الْعَيْنِ الْمَضْعُ وَبِكَسْرِهَا الْمَعْلُوكُ لأَنَّهُ يَجْمَعُ الرِّيقَ، فَإِنْ ابْتَلَعَهُ أَفْطَرَ فِي وَجْهِ ضَعِيفَ، وَإِنْ أَلْقَاهُ عَطَشَهُ وَمِنْ ثُمَّ كَمَا فِي الْمَجْمُوعَ، وَمَحَلَّهُ فِي غَيْرِ مَا يَتَفَتَّتُ، أَمَّا هُوَ فَإِنْ تَيَقَّنَ وَصُولُ بَعْضٍ جُرْمِهِ عَمْدًا إلى أَفْطَرَ وَحِينَئِذٍ يَحْرُمُ مَضْغَهُ بِخِلَافٍ مَا إِذَا شَكَ أَوْ وَصَلَ طَعْمُهُ أَوْ رِيحُهُ لِأَنَّهُ مُجَاوِرٌ، وَكَالْعِلْكِ فِي ذَلِكَ اللَّبَانُ الْأَبْيَضُ فَإِنْ كَانَ لَوْ أَصَابَهُ الْمَاءُ يَبِسَ وَاشْتَدَّ كُرِهَ مَصْغَهُ وَإِلَّا حَرُمَ.
Yang pertama berkaitan dengan hukumnya, dan di sini disebutkan bahwa disunnahkan untuk meninggalkannya (mencicipi makanan) atau hal lainnya karena khawatir makanan itu sampai ke tenggorokannya atau karena keinginannya yang kuat untuk mencicipinya. Ya, jika seseorang membutuhkan untuk mengunyah roti, misalnya, untuk seorang anak kecil, maka hal itu tidak dimakruhkan. Mengenai permen karet (dengan membuka huruf 'ain) adalah tindakan mengunyah, sedangkan (dengan memecahkan huruf 'ain) adalah sesuatu yang dikunyah. Karena permen karet ini mengumpulkan air liur, jika air liur itu ditelan, maka puasanya batal menurut salah satu pendapat yang lemah. Namun, jika air liur itu dikeluarkan, maka akan menyebabkan kehausan. Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu', hal ini berlaku kecuali pada benda yang terpecah-pecah. Namun, jika seseorang yakin bahwa sebagian kecil benda yang dikunyah sengaja masuk ke perutnya, maka puasanya batal, dan mengunyah benda tersebut menjadi haram. Berbeda halnya jika seseorang hanya ragu-ragu atau jika hanya rasa atau aromanya yang sampai ke perut, karena itu dianggap sebagai sesuatu yang berdekatan (tidak masuk ke perut). Sama halnya dengan permen karet adalah getah putih. Jika terkena air, getah tersebut mengering dan mengeras, maka mengunyahnya dimakruhkan. Jika tidak, maka mengunyahnya menjadi haram.
0Komentar