Si A adalah seorang pemimpin di perusahaan Pedot. Dalam perusahaan tersebut, terdapat banyak barang yang menjadi inventaris untuk digunakan oleh seluruh karyawan. Namun, ada beberapa barang yang tidak termasuk dalam daftar inventaris. Ketika Si A, sebagai pemilik perusahaan, menggunakan barang yang bukan inventaris, muncul pertanyaan:

Bagaimana hukum menggunakan barang inventaris perusahaan yang non umum tersebut?

Jawaban
Pada prinsipnya, barang yang dimiliki oleh suatu lembaga atau perusahaan, baik yang statusnya sebagai inventaris umum maupun yang tidak tercatat sebagai inventaris umum tetapi tetap milik lembaga, boleh digunakan dengan syarat:

  1. Penggunaannya bukan untuk kepentingan pribadi. Jika digunakan untuk kepentingan pribadi tanpa izin, maka hal tersebut dianggap sebagai ghasab (mengambil hak orang lain tanpa izin).
  2. Penggunaan barang untuk kepentingan pribadi hanya dibolehkan jika:
    • Ada indikasi kebolehan secara umum untuk memanfaatkan barang tersebut secara pribadi.
    • Terdapat izin secara ‘urfiyah (kebiasaan atau kesepakatan yang berlaku dalam lingkungan kerja).

Sedangkan untuk barang yang statusnya sebagai inventaris khusus, penggunaannya hanya diperbolehkan bagi pihak yang berwenang atau orang yang memang ditugaskan untuk menggunakannya.

Refrensi Jawaban

Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu jilid 4 Halaman 453:

الفقه الاسلام و أدلته ج 4 ص ٤٥٣ 

الإباحة فهي الإذن باستهلاك الشيء أو باستعماله، كالإذن بتناول الطعام أو الثمار، والإذن العام بالانتفاع بالمنافع العامة كالمرور في الطرقات والجلوس في الحدائق ودخول المدارس والمشافي. والإذن الخاص باستعمال ملك شخص معين كركوب سيارته، أو السكن في داره

Izin adalah izin untuk mengkonsumsi atau menggunakan sesuatu, seperti izin untuk makan makanan atau memetik buah-buahan, izin umum untuk memanfaatkan fasilitas umum seperti berjalan di jalan, duduk di taman, dan memasuki sekolah atau rumah sakit. Sedangkan izin khusus diberikan untuk menggunakan properti milik seseorang, seperti izin untuk mengendarai mobilnya atau tinggal di rumahnya.

Al-Fatawal Qubro Fikhiyah Jilid 3 halaman 116 : 

الفتاوى الكبرى الفقهية ج 4 ص ١١٦

وَسُئِلَ بِمَا لَفْظُهُ هَلْ جَوَازُ الْأَخْذ بِعِلْمِ الرّصَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ أَمْ مَخْصُوصٌ بِطَعَامِ الضِيَافَة؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُهُمْ أَنَّهُ غَيْر مَخْصُوص بِذلِكَ وَصَرَّحُوا بِأَنَّ غَلَبَةَ الظَّنِّ كَالْعِلْمٍ فِي ذلِكَ وَحِينَئِذٍ فَمَتَى غَلَبَ ظَنُّهُ أَنَّ الْمَالِكَ يَسْمَحْ لَهُ بِأَخْذِ شَيْءٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَالِهِ جَازَ لَهُ أَخَذُهُ ثُمَّ إِنْ بَانَ خِلافُ ظَنْهُ لَزِمَهُ ضَمَانُهُ وَإِلَّا فَلَا.

Ditanya tentang apakah boleh mengambil sesuatu dengan dasar keyakinan atau persetujuan, apakah ini berlaku untuk semua barang atau hanya untuk makanan tamu, jawabannya adalah sebagai berikut: Pendapat yang dinyatakan dalam perkataan mereka menunjukkan bahwa ini tidak terbatas hanya pada makanan tamu. Mereka juga menyatakan bahwa keyakinan yang kuat sama seperti ilmu dalam hal ini. Jadi, kapan pun seseorang meyakini bahwa pemiliknya mengizinkan untuk mengambil sesuatu dari harta miliknya, maka boleh bagi orang tersebut untuk mengambilnya. Namun, jika kemudian terbukti bahwa keyakinannya salah, maka ia wajib mengganti kerugian tersebut, jika tidak, maka tidak ada kewajiban mengganti. 

Nihayatul Muhtaj jilid 5 halaman 348 : 

نهاية المحتاج ٥ ص ٣٤٨ 

ومتى عين الواقف مدة لم يزد عليها إذا لم يوجد في اليد من هو صفته لأن العرف يشهد بأن الواقف لم يرد شغور مدرسته، وكذا كل شرط شهد العرف بتخصيصه كما قاله ابن عبد السلام، وعند الإطلاق ينظر إلى الغرض المبنى له ويعمل بالمعتاد المطرد في مثله حالة الوقف لأن العادة المطردة في زمن الواقف إذا علم بها تنزل منزلة شرطه فيزعج فقيه ترك التعلم وصوفي ترك التعبد، ولا يزاد في رباط مارة على ثلاثة أيام ما لم يعرض نحو ثلج

Apabila seorang wakif (orang yang mewakafkan) menentukan suatu durasi tertentu untuk wakafnya, maka durasi tersebut tidak dapat diperpanjang, kecuali jika tidak ada pihak yang sesuai dengan deskripsi yang telah ditentukan. Hal ini karena kebiasaan dan adat umum menunjukkan bahwa wakif tidak berniat untuk membiarkan sekolah atau tempat yang diwakafkan kosong. Begitu pula dengan setiap syarat yang telah diketahui secara umum untuk diterapkan pada kasus tersebut, seperti yang dikatakan oleh Ibn Abd al-Salam. Jika tidak ada syarat tertentu yang disebutkan, maka tujuan asli dari wakaf tersebut harus diperhatikan, dan dilakukan sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada zaman wakif tersebut. Misalnya, jika diketahui bahwa pada waktu itu orang-orang tidak diajarkan atau tidak beribadah di tempat tersebut, maka hal itu dianggap seperti syarat dari wakif. Dalam hal wakaf untuk tempat ibadah atau tempat pembelajaran, tidak diperbolehkan untuk menambah durasi yang lebih lama dari tiga hari, kecuali ada kondisi khusus, seperti salju.

Asbahu Wannadhoir hal 84 : 

الأشباه والنظائر ص ٨٤

(القاعدة الخامسة) تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة هذه القاعدة نص عليها الشافعى وقال منزلة الإمام من الرعية منزلة الولى من اليتيم قلت وأصل ذلك ما أخرجه سعيد بن منصــــــــــور في سننه قال حدثنا أبو الأحوص عن أبي إسحاق عن البراء بن عازب قال قال عمر رضي الله عنه إني أنزلت نفسى من مال الله منزلة والى اليتيم إن احتجت أخذت منه فإذا أيسرت رددته فإن استغنيت استعففت. ۲. المحلى وحاشية القليوبي الجزء الثالث ص : ۲۱ دار إحياء الكتب العربية (وله) أى للمستعير (الانتفاع بحسب الإذن) (قوله بحسب الإذن أى بحسب ما يقتضيه العرف فيه ومنه تكرار الانتفاع بنحو لبس ثوب وركوب دابة وسكنى دار ما يقيد بمرة أو مدة ولو عدل عن الطريق المأذون فيه أو جاوز محلا أذن له فى وصوله صار ضامنا ولزمته أجرة ما جاوزه فقط وله الركوب في العود منه كما مر

Ini adalah kaidah yang ditetapkan oleh Imam Syafi'i, yang menjelaskan bahwa kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah seperti wali terhadap anak yatim. Hal ini tercermin dalam hadis yang diriwayatkan oleh Sa'id bin Mansur dalam Sunannya, dari Abu al-Ahwas, yang mengutip dari Abu Ishaq, yang mengutip dari al-Bara' bin 'Azib, bahwa Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu berkata: "Aku menempatkan diriku dalam pengurusan harta milik Allah seperti halnya wali terhadap anak yatim. Jika aku membutuhkan, aku mengambil darinya, dan jika aku telah mampu, aku mengembalikannya. Jika aku merasa cukup, aku akan menahan diri." Selanjutnya, dalam konteks peminjaman barang, si peminjam (المســـــــــــــــــــــــــــتعیر (berhak untuk memanfaatkan barang yang dipinjam sesuai dengan izin yang diberikan. "Berdasarkan izin" berarti sesuai dengan apa yang dianggap wajar dalam adat atau kebiasaan. Misalnya, penggunaan pakaian, menunggangi hewan, atau tinggal di rumah tanpa batasan waktu tertentu, selama tidak melampaui batas yang telah disetujui. Jika peminjam menyimpang dari jalan yang disetujui atau melampaui tempat yang diizinkan untuk dikunjungi, maka ia akan dianggap bertanggung jawab dan wajib mengganti biaya atas kerugian yang ditimbulkan. Namun, jika peminjam kembali ke jalur yang telah disepakati, ia tetap berhak atas pemanfaatan tersebut.