Pada tahun 2014, Maidi berhutang kepada Hafid sebesar 12 ribu rupiah untuk membeli rokok merek Surya. Namun, Maidi baru melunasi hutang tersebut pada tahun 2024, di mana harga rokok Surya telah naik menjadi 25 ribu rupiah. Jika Maidi tetap membayar sebesar 12 ribu rupiah, Hafid akan mengalami kerugian. Dalam prinsip akad muamalah, tidak boleh ada pihak yang dirugikan.

Pertanyaan: Apakah Maidi tetap membayar sebesar 12 ribu rupiah? Jika tidak, apa solusinya?

Jawaban:

Para ulama memiliki tiga pendapat mengenai masalah ini:

  1. Tetap Membayar Sesuai Nominal Hutang
    Maidi hanya wajib membayar sebesar nominal hutangnya, yaitu 12 ribu rupiah. Pendapat ini masyhur di kalangan ulama Syafi’iyah dan Malikiyah.

  2. Membayar Sesuai Nilai Inflasi
    Maidi harus membayar hutang dengan menyesuaikan nilai inflasi, yaitu senilai harga rokok Surya pada tahun 2024. Dengan demikian, tanggungannya menjadi 25 ribu rupiah.

  3. Pendekatan Tafsil (Perincian)

    • Jika selisih nilai antara nominal hutang dan harga saat ini kecil, hutang tetap dibayar sesuai nominal (12 ribu rupiah).
    • Jika selisihnya besar, hutang dibayar sesuai nilai inflasi (25 ribu rupiah).

Namun, solusi terbaik dalam penyelesaian hutang ini adalah kesepakatan antara pihak yang berhutang (Maidi) dan yang menghutangi (Hafid). Dengan musyawarah, kedua belah pihak dapat menemukan jalan tengah yang adil dan tidak merugikan salah satu pihak.

Refrensi

الحاوي للفتاوي ١١٤/١ 

وَاعْلَمْ أَنَّهُ نَجَا فِي جَوَابِهِ إِلَى اعْتِبَارِ قِيمَةِ الْفُلُوسِ، وَذَلِكَ لِأَنَّهَا عَدِمَتْ أَوْ عَزَّتْ فَلَمْ تَحْصُلْ إِلَّا بِزِيَادَةٍ، وَالْمِثْلِيُّ إِذَا عَدِمَ أَوْ عَزَّ فَلَمْ يَحْصَلْ إِلَّا بِزِيَادَةٍ لَمْ يَجِبْ تَحْصِيلَهُ كَمَا صَحْحَهُ النووي فِي الْغَضَبِ بَلْ يُرْجَعُ إِلَى قِيمَتِهِ، وَإِنَّمَا نَبَّهْتُ عَلَى هَذَا لِئَلَّا يُظَنُّ أَنَّ الْفُلُوسَ مِنَ الْمُتَقَوْمَاتِ وَإِنَّمَا هِيَ مِنَ الْمِثْلِيَّاتِ في الأص وَالذَّهَبُ وَالْقِصَّةُ الْمَصْرُوبَانِ مِثْلِيَّانِ بِلَا خِلَافٍ ، إِلَّا أَنَّ فِـ الْمَغْشُوشِ مِنْهُمَا وَجَهَا أَنَّهُ مُتَقَوْمٍ، إِذَا تَقرِّرَ هَذَا فَأَقُولُ: تَتَرَيَّ وين فِي الذِّمَّةِ بِأُمُورٍ مِنْهَا: الْقَرْضُ، وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْقَرْ الصَّحِيحَ يُرَدُّ فِيهِ الْمِثْلُ مُطْلَقًا، فَإِذَا اقْتَرَضَ مِنْهُ رِطلَ فَلُوسِ فَالْوَاجِبُ رَدَّ رِطْلٍ مِنْ ذَلِكَ الْجِنْسِ سَوَاءٌ زَادَتْ قِيمَتُهُ أَمْ زَوَائِدِهِ، وَلَوْ أَقْرَضَهُ نَقْدًا فَأَبْطَلَ السَّلْطَانُ الْمُعَامَلَة بِهِ فَلَيْسَ لَهُ إِلَّا النَّقْدُ الَّذِي أَقْرَضَهُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فَإِذَا كَانَ هَذَا مَعَ إِبْطَالِهِ فَمَعَ نَقْصٍ قِيمَتِهِ مِنْ بَابِ أَوْلَى ، وَمِنْ صُورَة الزَّيَادَةِ أَنْ تَكُونَ الْمُعَامَلَةُ بِالْوَزْنِ ثُمَّ يُنَادَى عَلَيْهَا بِالْعَدْدِ، وَيَكُونُ الْعَدَدُ أَقَلَّ وَزُنًا، وَقَوْلِي: فَالْوَاجِبُ إِشَارَةٌ إِلَى مَا يَحْصُلُ الْإِخْبَارُ عَلَيْهِ مِنَ الْجَانِبَيْنِ، هَذَا عَلَى دَفْعِهِ وَهَذَا عَلَى قَبُولِهِ وَبِهِ يَحْكُمُ الْحَاكِمُ، أَمَّا لَوْ تَرَاضَيَا عَلَى زِيَادَةٍ

Ketahuilah bahwa dalam jawabannya, ia mengarah pada pertimbangan nilai uang receh (fulus) karena uang tersebut menjadi langka atau sulit diperoleh kecuali dengan tambahan biaya. Dalam hal barang sejenis (mithli), jika langka atau sulit ditemukan sehingga hanya dapat diperoleh dengan tambahan biaya, maka tidak wajib mencarinya, sebagaimana yang ditegaskan Imam Nawawi dalam masalah ghasab, tetapi harus kembali pada nilainya. Hal ini ditegaskan agar tidak disalahpahami bahwa uang receh termasuk benda bernilai (mutaqawwimat), padahal menurut pendapat yang lebih kuat, uang receh termasuk benda sejenis (mithliyat). Adapun emas dan perak yang dicetak (dinar dan dirham) termasuk benda sejenis tanpa perselisihan, kecuali yang mengandung campuran (maghsyush), ada pendapat yang menganggapnya sebagai benda bernilai. Dalam kasus utang (qardh), utang yang sah wajib dikembalikan dalam bentuk yang sama secara mutlak. Jika seseorang meminjam satu ratl uang receh, maka wajib baginya mengembalikan satu ratl dari jenis yang sama, baik nilainya bertambah atau berkurang. Dalam kasus peningkatan nilai, hal ini dianalogikan dengan akad salam, sementara dalam kasus penurunan nilai, disebutkan bahwa jika uang tersebut dibatalkan penggunaannya oleh pemerintah, maka peminjam hanya berhak menerima uang yang sama seperti yang dipinjam. Hal ini dinyatakan oleh Imam Syafi'i, dan jika hukum ini berlaku dalam pembatalan, maka lebih utama lagi berlaku dalam penurunan nilai. Contoh peningkatan nilai adalah ketika transaksi awalnya berdasarkan berat (wazan), kemudian diubah menjadi berdasarkan jumlah ('adad), di mana jumlah tersebut memiliki berat yang lebih ringan. Dalam hal ini, kewajiban berlaku bagi kedua belah pihak—peminjam untuk membayar dan pemberi pinjaman untuk menerima—sesuai keputusan hakim. Namun, jika keduanya sepakat adanya tambahan, hal tersebut diperbolehkan.

موسوعة أحسن الكلام في الفتوى والأحكام ج ۵ ص ٧٢

س : يحدث كثيرا أن يقترض إنسان مبلغا من المال يرده بعد مدة من الزمن، فتتغير القوة الشرائية لهذا المبلغ بارتفاع أسعار الأشياء وانخفاضها ؟ فهل يلزم المقترض برد هذا المبلغ ، أو برد أكثر منه أو أقل مراعاة لقيمته ؟ الرأي الأول : أن المعول عليه المثل عند الاقتراض فالمائة ترد مائة ، وهذا هو الرأي المشهور عند المالكية والمشهور عند الشافعية ، ورأى في مذهب الحنفية والمذهب الحنبلي يقول السيوطي) : وقد تقرر أن القرض الصحيح يرد فيه المثل مطلقا . فإذا اقترض منه رطل فلوس فالواجب رد رطل من ذلك الجنس ، سواء زادت قيمته أم نقصت . ومثل ذلك جاء في كلام ابن رشد في النوازل ، والحطاب على قول خليل ، والكاساني في البدائع ، والبهوتي في كشاف القناع . وذلك لأن التغير ليس ناشئا من ذات النقد، بل من فتور رغبات الناس . والرأي الثاني : أن المعول عليه هو القيمة عند السداد، وهو قول أبي يوسف ، ورجحه متأخر و الحنفية ، ورأى في المذهب الشافعي ، وفي المذهب المالكي ، وقوى ذلك ابن تيمية ، معتمدا على أن تغير السعر أو القيمة يعتبر في حد ذاته عيبا ، فلا يرد المثل بل القيمة عند ثبوت الدين والرأي الثالث: يقول : إن كان الفرق قليلا ردت القيمة عند الاقتراض ، وإن كان كبيرا ردت القيمة عند السـ داد ، وقال به بعض المالكية ، وعند بعض الشافعية قريب منه وقد يكون الاتفاق على كيفية السداد هو الأسلم والأبعد عن التنازع والغبن وإن كان فيه غَرَرٌ ما ، وذلك من باب ارتكاب أخف الضررين. فكثير من المعاملات المالية لا يخلو من غرر ، ولكن يتسامح فيه عند تحقق مصلحة أكبر ، والدين يسر.

Pertanyaan: Sering terjadi seseorang meminjam sejumlah uang yang akan dikembalikan setelah beberapa waktu, dan dalam rentang waktu tersebut, daya beli uang tersebut berubah akibat kenaikan atau penurunan harga barang. Apakah peminjam wajib mengembalikan uang dengan jumlah yang sama, lebih, atau kurang dengan mempertimbangkan nilainya? Pendapat pertama menyatakan bahwa yang menjadi patokan adalah jumlah yang dipinjam, sehingga seratus dikembalikan seratus. Pendapat ini merupakan pendapat terkenal dalam mazhab Maliki, Syafi'i, serta pandangan dalam mazhab Hanafi dan Hanbali. As-Suyuti menyebutkan bahwa dalam akad pinjaman yang sah, wajib mengembalikan pinjaman sesuai jenisnya tanpa memperhatikan perubahan nilainya. Contohnya, jika seseorang meminjam satu pon koin, maka wajib mengembalikan satu pon koin dari jenis yang sama, baik nilainya meningkat maupun menurun. Pendapat ini juga disebutkan dalam naskah-naskah Ibnu Rusyd, Al-Haththab, Al-Kasani, dan Al-Buhuti. Alasannya adalah karena perubahan nilai tidak berasal dari sifat intrinsik uang tersebut, melainkan dari perubahan keinginan masyarakat. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang menjadi patokan adalah nilai saat pembayaran. Ini adalah pendapat Abu Yusuf, yang diperkuat oleh ulama belakangan dalam mazhab Hanafi, serta pandangan dalam mazhab Syafi'i dan Maliki. Pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Taimiyah, yang berpendapat bahwa perubahan nilai dianggap sebagai cacat, sehingga yang dikembalikan adalah nilainya, bukan jumlah yang sama. Pendapat ketiga menyatakan bahwa jika perbedaannya kecil, maka dikembalikan berdasarkan nilai saat pinjaman. Namun, jika perbedaannya besar, dikembalikan berdasarkan nilai saat pembayaran. Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama Maliki dan Syafi'i. Kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat mengenai cara pembayaran dianggap sebagai solusi terbaik untuk menghindari perselisihan dan ketidakadilan, meskipun mengandung sedikit ketidakpastian (gharar). Namun, hal ini dibolehkan demi mencegah kerugian yang lebih besar, karena banyak transaksi keuangan mengandung unsur ketidakpastian, tetapi ditoleransi demi manfaat yang lebih besar, karena agama itu mudah.