Sebagai bagian dari proses pendidikan, para mahasiswa tidak hanya dibekali teori secara mendalam, tetapi juga diterjunkan langsung dalam praktik menangani pasien. Dalam rangka membentuk profesionalisme, sering kali diberlakukan sistem rotasi antarjenis kelamin—misalnya mahasiswa laki-laki menangani pasien perempuan, dan sebaliknya—termasuk dalam praktik tindakan medis yang sensitif seperti pemasangan kateter.
Di sisi lain, praktik pengobatan terhadap pasien lawan jenis juga sudah menjadi hal umum di masyarakat. Banyak orang memilih berobat tanpa memandang jenis kelamin tenaga medis, dengan alasan kemudahan layanan, efisiensi biaya, ketersediaan tenaga ahli, hingga kualitas penanganan yang lebih baik.
Pertanyaan
-
Bagaimana hukum bagi mahasiswa keperawatan atau kebidanan yang melakukan praktik penanganan pasien?
-
Apakah alasan efisiensi dan kemudahan layanan bisa dikategorikan sebagai kondisi darurat yang memperbolehkan penanganan atau berobat kepada lawan jenis?
Jawaban
-
Diperbolehkan, selama mahasiswa tersebut memiliki kompetensi yang memadai serta telah mendapatkan izin atau rekomendasi dari dua dokter senior yang bersikap adil.
-
Pertimbangan seperti efisiensi biaya, keahlian tenaga medis, dan jenis penyakit bisa dianggap sebagai kondisi darurat yang membolehkan penanganan atau pengobatan terhadap lawan jenis. Apabila muncul dilema, misalnya antara dokter yang sangat ahli namun biayanya tinggi dengan dokter yang biayanya terjangkau namun keahliannya terbatas, maka yang diutamakan adalah tingkat keahliannya.
0Komentar