nderekngaji.com - Seiring waktu, manusia terus mengalami perkembangan yang berjalan beriringan dengan perubahan zaman. Aspek-aspek kehidupan seperti teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya turut berubah mengikuti arus zaman. Kini, kita bisa menyaksikan sendiri bagaimana kemajuan teknologi memungkinkan seseorang yang berada di belahan dunia lain dapat terhubung dan berkomunikasi dengan mudah hanya melalui perangkat digital. Semua ini merupakan hasil dari derasnya arus globalisasi yang mendorong kemajuan teknologi secara signifikan.

Perubahan yang terjadi tersebut menuntut hukum Islam untuk mampu menyesuaikan diri dengan kondisi kekinian. Banyaknya persoalan kontemporer yang belum diatur secara eksplisit dalam teks-teks klasik menjadikan hal ini sebagai tantangan besar bagi umat Islam. Terlebih lagi, saat ini masyarakat cenderung mengandalkan fatwa dari para ustaz yang populer di media sosial seperti YouTube dan platform lainnya. Hal ini menjadikan proses pengambilan keputusan hukum Islam terkesan semakin mudah dilakukan oleh siapa saja.

Fenomena ini tentu saja patut diwaspadai karena dapat mengganggu tatanan kehidupan beragama yang berdasarkan nilai-nilai syariat. Kepercayaan masyarakat terhadap kajian fikih yang telah bertahan selama ratusan tahun bisa terkikis jika fatwa-fatwa disampaikan oleh pihak yang kurang kompeten. Oleh sebab itu, penting bagi para tokoh agama untuk memahami syarat-syarat dalam mengeluarkan fatwa, serta mampu membedakan antara fatwa yang bersifat memudahkan (التيسير) dan fatwa yang sembrono (التساهل), agar tidak menimbulkan sikap permisif dalam beragama.

Pengertian Fatwa

Dalam kitab Syarah Muntahal iradat (jilid 3, hlm. 482), dijelaskan bahwa fatwa merupakan penyampaian dasar hukum atau dalil atas sebuah persoalan yang ditanyakan, atau penjelasan hukum-hukum syariat kepada seseorang yang mengalami kebingungan atau ketidaktahuan. Dalil yang dimaksud di sini adalah sumber-sumber hukum yang diakui dalam Islam seperti Al-Qur'an, sunah, ijma’, qiyas, serta pendapat-pendapat ulama yang tercatat dalam literatur klasik.

Namun, jika masalah yang ditanyakan tidak ditemukan dalam keempat sumber hukum tersebut, maka kapasitas keilmuan seorang ulama sangat diperlukan. Ia harus menggunakan kemampuan maksimal dalam mencari solusi hukum, baik melalui metode qiyas, ilhaq (analogi berdasarkan kesamaan illat), atau ijtihad yang tetap merujuk pada prinsip-prinsip syariat yang telah ditetapkan.

Fatwa yang Mengutamakan Kemudahan

Satu hal penting yang harus dipahami oleh para pendakwah adalah bahwa fatwa yang diberikan semestinya bersifat memudahkan, bukan mempersulit. Al-Qur’an dan hadis mengandung banyak pesan yang menekankan bahwa Islam hadir sebagai rahmat bagi semesta alam, serta menganjurkan kemudahan dan menghindari kesulitan maupun mudarat dalam kehidupan manusia.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah [2]: 185:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran."

Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil karya Al-Khazin (jilid 1, hlm. 156) menjelaskan bahwa tidak ada kesulitan yang dibebankan kepada manusia dalam hal agama. Dengan kata lain, bila seseorang dihadapkan pada dua pilihan dalam urusan agama dan ia memilih yang paling ringan, maka hal itu merupakan tindakan yang diridhai Allah.

Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Ar-Razi menyebutkan bahwa segala sesuatu yang bersifat menyulitkan atau membahayakan tidak mungkin diperintahkan oleh syariat. Ia juga mengutip Surah Al-Hajj ayat 78:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dan Allah tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam urusan agama."

Hadis Nabi pun mendukung prinsip ini. Sebagaimana sabda beliau:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

"Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari."
(HR. Bukhari, No. 67)

Imam Al-Manawi dalam kitab Faid al-Qadir (hlm. 461–462) menafsirkan hadis ini sebagai seruan agar para ulama bersikap bijak dalam berdakwah, serta memberikan fatwa yang memudahkan umat dalam menjalankan ajaran agama. Bila pendekatan yang digunakan lunak dan penuh kasih, niscaya masyarakat akan lebih mudah menerima dan bersemangat dalam beribadah.

Bahaya Fatwa yang Gampangan

Di sisi lain, ada peringatan keras terhadap sikap gegabah dalam memberikan fatwa. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ (hlm. 79–80) secara tegas menyatakan bahwa sikap sembrono dalam berfatwa merupakan tindakan tercela. Masyarakat pun diingatkan agar tidak mencari atau menerima fatwa dari orang yang tidak memiliki kapasitas dan kredibilitas keilmuan yang memadai.

Fatwa yang dikeluarkan secara gegabah biasanya muncul karena berbagai motivasi, seperti tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan dengan cermat dasar hukumnya, tidak merujuk pada sumber syariat yang sahih, atau bahkan terpengaruh oleh hawa nafsu—yang kemudian menyebabkan penghalalan sesuatu yang seharusnya haram, atau sebaliknya.

Penutup

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara fatwa yang memudahkan (التيسير) dan fatwa yang sembarangan (التساهل). Fatwa yang terakhir ini kerap berasal dari individu yang kurang kompeten, serta tidak berpegang pada metode ilmiah dan prinsip-prinsip hukum Islam yang benar. Hal ini sangat berbahaya karena dapat mencederai kesucian agama.

Sementara itu, fatwa yang bersifat memudahkan lahir dari para ahli yang memiliki kapabilitas dan memahami tujuan syariat. Dengan mengikuti etika dalam memberikan fatwa, kepercayaan umat terhadap ilmu fikih akan tetap terjaga, serta memungkinkan Islam tetap relevan dalam menjawab tantangan zaman.